Wakatobi di Depan Mata!

Semula nama Wakatobi yang merupakan akronim dari nama 4 pulau besarnya, Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko hanya bisa saya dengar tanpa tahu kapan saya bisa menjejakkan langkah saya disana. Keindahannya kerap dipublikasikan dan menjadi tempat top-list terutama bagi penikmat olahraga diving, snorkeling dan para pejalan.

Yup, kepulauan yang termasuk bagian dari Sulawesi Tenggara ini bagian dari pusat segitiga koral dunia (coral triangle). Wakatobi terletak pada segitiga terumbu karang bersamaan dengan perairan Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Timor Leste, serta Kepulauan Solomon. Jumlah terumbu karang di kawasan Wakatobi mencakup lebih dari 50 persen terumbu karang dunia. Wow banget kan!

 

Sejauh mata memandang..laut!
Sejauh mata memandang..laut!


Ada banyak jalan menuju Roma, begitu juga dengan Wakatobi, ada banyak jalan menuju Wakatobi. Budget yang cukup besar harus dipersiapkan jika ingin datang ke Wakatobi, selain itu perlu waktu cuti dari kantor tentunya dong. Penerbangan dari Jakarta menuju Kendari atau Bau-Bau tidak bisa dibilang  murah, lebih murah terbang ke Singapura atau Malaysia. Nah ironis yah.  Kesempatan bertugas di Kendari selama 1 bulan tidak saya sia-siakan pastinya, pekerjaan saya bantai habis selama tiga minggu di awal, alasanya ya supaya ada waktu libur di akhir pekerjaan. Selama tiga minggu kepikiran terus tentang Wakatobi, sampai susah konsen sama kerjaan *banting laptop*.

Yes, akhirnya akhir bulan datang dengan cepat, bukan karena saya minum EM Kapsul lho. Berbekal hasil lihat-lihat blog orang yang ke Wakatobi, saya putuskan melakukan perjalanan dengan rute: Kendari – Bau-Bau – Wangi-Wangi. Perjalanan dari Kendari ke Balu-Bau ditempuh dengan kapal cepat dan dari Bau-Bau menuju Wangi-Wangi ditempuh dengan menaiki kapal K-A-Y-U selama 14 jam! Modyarr aing. Siang hari, saya menaiki kapal Chantika Express dari Pelabuhan Kendari menuju Pelabuhan Bau-Bau, dengan transit selama 15 menit di Pulau Muna untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Kapal Chantika ini mirip seperti kapal Wavemaster yang melayani rute Batam – Singapura, tiket kapal seharga Rp.155.000 (2014) untuk sekali jalan saya beli di depan pelabuhan.

Kapal Chantika Express
Kapal Chantika Express

Beruntung kali itu bukan weekend, sehingga tidak terlalu banyak penumpang menuju Bau-Bau. Biasanya penumpang cukup penuh, sehingga beberapa penumpang harus berdiri. Ini kapal apa Metromini sih kok pake berdiri segala. Sesuai yang tertera pada tiket, saya duduk pada kursi nomor 13A, yang terletak pada bagian depan. Ada dua buah TV LCD di hadapan saya, memutarkan video klip yang saya kira menyanyikan lagu Sulawesi Selatan, nyatanya dangdutan. Yo wes sekarepmu.

Interior di dalam Kapal Chantika Express. Ada life vest lengkap tuh.
Interior di dalam Kapal Chantika Express. Ada life vest lengkap tuh.

I need sleep. Really. Saya langsung terlelap saat kapal mulai meninggalkan Pelabuhan Kendari, ombak tidak besar, sehingga guncangan tidak terasa dari kapal yang terbuat dari bahan fiber ini. Laut, di sejauh mata memandang, sudah lama saya tidak mencium aroma laut. Pulau Buton dan Pulau Muna dipisahkan oleh celah sempit saja. Beberapa penumpang Nampak turun di Pulau Muna, kalo yang belum tau Pulau Muna, pernah denger orang yang namanya La Ode dan Wa Ode? Nah ini nama gelar kebangsawanan asli dari Pulau Muna dan Pulau Buton (Bau-Bau).

Pukul 18.15 kapal merapat di Pelabuhan Bau-Bau, ini merupakan pelabuhan utama di Pulau Bau-Bau. Ah sayang sekali kapal terlalu sore sampai di Pulau Buton, jika lebih awal harusnya saya bisa mampir ke Benteng Keraton Wolio di Bau-Bau, benteng ini adalah benteng terluas di dunia. Panjang bentengnya mencapai 3 kilometer, itu berarti 3 puteran lari di Stadion GBK kan. Akhirnya saya hanya mampir untuk makan ke KFC di dekat pelabuhan, sembari menunggu kapal yang akan saya naiki ke Pulau Wangi-Wangi.

Kapal kayu Bau-Bau menuju Wangi-Wangi
Kapal kayu Bau-Bau menuju Wangi-Wangi

Bruk..bruk.. nampak kru kapal melempar-lempar buntelan karung ke atas kapal, sempat bingung juga ini beneran kapal penumpang atau kapal barang ya. Soalnya jam 6 sore tadi kapal ini masih nampak seperti kapal penumpang ‘seadanya’, nah sekarang kok lebih banyak barangnya. Selain karung-karung, ada hewan ternak yang disimpan di belakang kapal, sepeda motor yang saya hitung ada 10 buah, dan macam-macam bawaan lain yang diikat erat di geladak kapal. Ya Tuhan saya bisa selamat sampai di Wakatobi nggak nih, kapal kayu reyot gini kok bawaannya banyak bener.

“Pak, emang begini ya suasana kapalnya?” tanya saya pada salah satu penumpang yang asik tiduran di samping saya.

“Ini sih mending dek, masih sepi kapalnya. Kalo lagi musim liburan banyak yang nggak kebagian lapak tidur”, jawabnya.

“Trus..trus ini ombaknya gede nggak kira-kira, pak? lanjut saya.

“Yaa lumayan lah, kemarin sih waktu saya dari Wanci (baca: Wangi-Wangi) mau ke Bau-Bau kapal kelebihan muatan, jadi hampir kebalik. Beberapa motor yang dibawa dibuang ke laut tuh supaya beban kapal lebih enteng”, jawabnya santai.

WHATT..?!! Kapal mau kebalik? Motor dibuang ke laut? Hanjirrr kalo kelebihan muatan trus saya yang dibuang ke laut gimana dong?

*degdegdegdegdegdeg*

Lapak tiddur lantai bawah, lihat tuh jejeran motor di belakang
Lapak tidur lantai bawah, lihat tuh jejeran motor di belakang

Di bagian dalam kapal disediakan tempat tidur dengan matras kecil, pas banget sama ukuran badan, yaa kalo agak gemuk kayanya perlu ambil 2 tempat deh. Di bawah matras itu mesin kapal, kebayang nggak harus tiduran di atas mesin kapal? Puanasss e, berisik pula. ‘Tempat tidur’ ini terdiri dari 2 tingkat, saya ambil yang  bagian bawah dengan pertimbangan kalo ombak besar, nanti di bagian atas bakal lebih keguncang-guncang. Kapal baru berangkat dari pelabuhan, saya sudah bisa merasakan hempasan ombak besar nggak berhenti, ombak emang lagi gede banget di bulan Januari. Oke fix saya nelen Antimo 2 buah sekarang juga.

Kamar mandi di kapal
Kamar mandi di kapal

Gelombang rupanya kenceng banget, saya udah minum Antimo 2 buah aja masih ngerasa kaya lagi naik jungkat-jungkit tidurnya. Kadang kelempar ke atas, trus nggak lama kelempar lagi ke bawah. Arrgghh. Akhirnya suara deru mesin kapal yang sepanjang malam mengganggu tidur membangunkan saya, langit tidak lagi gelap, berganti dengan warna biru terang. Ah sudah pagi rupanya. Ritual pagi hari saya laksanakan di kamar mandi kapal ditemani suara ayam dan kambing bawaan penumpang *nggak konsen*. Yuhuu akhirnya Pulau Wangi-Wangi udah di depan mata.

WAKATOBI!!

Rute: Menuju Wakatobi bisa ditempuh dengan beberapa alternatif.

Kapal laut: Perjalanan bisa dimulai dari Makassar, Pulau Buton (Bau-Bau), atau Kendari. Dari Kendari ada kapal kayu langsung ke Pulau Kaledupa, tapi waktunya tidak setiap hari. Dari Bau-Bau ada kapal cepat Cantika Ekspress yang juga tidak setiap hari berangkat (malah tergantung ombak), ada kapal kayu yang juga  tidak setiap hari keberangkatannya.

Pesawat:

  • Perjalanan bisa dimulai dengan naik pesawat ke Pulau Buton (Bau-Bau) lalu dilanjutkan dengan kapal kayu maupun ekspress.
  • Perjalanan bisa dimulai dengan naik pesawat ke Kendari lalu dilanjutkan ke Pulau Wangi-Wangi (Wakatobi) dengan naik pesawat Wings Air ke Bandara Maitara, Pulau Wangi-Wangi. Keberangkatan 3 kali setiap minggunya, Senin, Rabu, Jum’at.

Jalan darat: Jangan ngarang loe, mana bisa jalan darat nyebrang pulau gitu 😀

Leave a comment